
Mengapa dia mengayuh sepeda sendiri? di manakah anak-anak lain ? apakah mereka tidak sekolah setelah lulus SD. Dan memang ternyata dia sendiri, anak berambut tipis itu lebih beruntung dari anak-anak yang lain. ia punya bapak yang tidak lulus SD dan ibu yang tidak bisa membaca dan menulis namun mereka menaruh percaya bahwa pendidikan bisa menjadi jalan bagi perubahan kondisi. “Wis ..wong tuwamu wae sing rekasa, kowe kudu sekolah supaya uripmu ora rekasa –sudah… orang tuamu saja yang susah, kamu harus sekolah supaya hidupmu tidak susah- “, ini kalimat yang meluncur dari bapak saat menyemangati anak-anaknya untuk sekolah. Kata penyemangat ini tidak didapat oleh anak-anak yang lain di desa terpencil itu.
Mereka pesimis terhadap hidup yang sudah melingkar-lingkar dalam kemiskinan dan kemiskinan. Pendidikan hanya akan menjadi beban keluarga dan menambah miskin saja keluarga. Setelah lulus SD mereka bisa membantu orang tua di sawah dan menggembalakan kambing atau kerbau. Pemikiran ini menjadi semakin mengakar karena pernah ada beberapa anak yang sekolah sampai SMA pun akhirnya hanya menjadi petani sama dengan mereka yang tidak sekolah. Tidak ada kisah sukses yang mereka lihat dari pendidikan.
Penggal cerita ini yang saya alami ketika kecil, saya beruntung dengan semangat orang tua yang menaruh keyakinan akan adanya peluang perubahan dengan pendidikan. Saya cukup bisa menjadi cerita dari keyakinan orang tua. Pengalaman pahit di masa kecil ini sangat menggores tajam dalam hati saya, mempengaruhi seluruh mata batin dan kedua mata saya dalam melihat kenyataan di lingkungan sekitar setalah saya tinggal di kota.
Realitas kemiskinan dan pendidikan menjadi lingkaran setan. Kalau orang itu miskin maka menjadi sulit untuk mendapatkan sekolah, apalagi sekolah yang bagus karena biayanya sangat tinggi. Kalau orang tidak punya latar belakang pendidikan yang cukup maka menjadi lebih sulit untuk bersaing dalam hidup dan secara otomatis menaruh mereka dalam urutan terbawah pyramid kehidupan. Apa yang bisa kita kerjakan untuk mereka ? Pasti ada! Inilah keyakinan yang selalu meletup dalam pikiran. Dari keyakinan ini mengarahkan semua telinga dan mata untuk mendengar dan mengamat-amati.
Kesadaran pendidikan 9 tahun sudah bisa terhayati oleh banyak orang di kota Yogyakarta, kesadaran ini mendorong orang tua untuk berusaha menyekolahkan anaknya bagaimanapun keadaan keluarga. Namun demikian harapan akan prestasi yang bagus menjadi sulit tercapai karena tidak punya kemampuan keuangan yang cukup untuk memberikan tambahan pelajaran karena bimbingan pelajaran dirasa mahal. Hal inilah yang dilihat oleh teman-teman dari GKJ Brayat Kinasih untuk menolong anak-anak yang dalam kondisi keterbatasan kemampuan keuangan untuk mendapatkan bimbingan pelajaran secara gratis.
Dalam satu perbincangan di teras gereja sepulang ibadah seorang ibu yang menjadi guru matematika SMP mengajukan pertanyaan : “Apakah tujuan kita memberikan tambahan pelajaran ini ?” Pertanyaan ini belum terjawab sudah ada ibu lain yang bertanya dalam gaya bahasa NGOnya: “Outcomenya?”. “Masak kita ngobrol sambil berdiri begini, mari kita duduk dulu”, kataku sambil menata kursi teras gereja yang agak berserakan.
“Mari kita pikirkan bareng-bareng”, kataku sambil melipat lengan baju. “Kita semua sepakat bahwa ada keadaan dimana anak-anak dari keluarga kurang mampu yang sekarang ini sekolah tidak bisa bersaing dengan teman-temannya karena mereka tidak bisa membayar biaya bimbingan sekolah”, kataku. “Tujuan dari tambahan pelajaran ini adalah anak-anak mendapatkan nilai yang bagus. Dengan nilai yang bagus itu maka mereka bisa bersaing masuk ke sekolah-sekolah bagus dengan begitu hasil akhir yang kita mau capai adalah peningkatan kesejahteraan mereka di kemudian hari”, kataku dengan urat leher yang meregang.
“Bagaimana kita melakukannya ?”, ganti aku yang mengajukan pertanyaan. “Bagaimana pak kalau kita data anak-anak kita sendiri dulu, berapa yang membutuhkan pelayanan ini. Kemudian kita juga mendata warga gereja yang menjadi guru, baru kemudian kita bisa merancang kegiatannya”, kata ibu kepala sekolah salah satu SMP BOPKRI di Yogyakarta. “Pelajaran apa yang biasa sulit dihadapi oleh anak-anak?, tanyaku. “Matematika dan Bahasa Inggris, dua pelajaran ini yang biasanya menjadi algojo saat Ujian Nasional”, sahut ibu beranak satu itu. Setelah ngobrol banyak, dari pembicaraan mengenai ujian nasional sampai sambel garing krecek akhirnya disepakatilah kegiatan tambahan pelajaran itu.
Kita akan mengadakan tambahan pelajaran melukis untuk anak-anak TK dan SD, menari untuk umum yang ternyata dalam perjalanan waktu belum bisa berjalan karena gurunya adalah dosen ISI DIY yang mengalami kesulitan untuk mengatur waktu. Pelajaran Matematika dan Bahasa Inggis untuk kelas 6 SD, SMP dan SMA. Ditambah dengan kelas conversation. Semua guru yang mengampu akan dibayar secara professional. Kegiatan tambahan pelajaran ini dilakukan seminggu sekali dan akan ditambah menjelang Ujian Nasional.
“Dari mana uangnya pak”, tanyaku dalam hati. Berbicara soal dana, yang perlu didekati adalah pemangku jabatan gereja. Ketemu dengan ketua majelis dan tentunya juga ketua bidang II, seperti gayung bersambut akhirnya kebutuhan dana awal untuk kegiatan ini terpenuhi. Kegiatan mulai berjalan, dalam paruh perjalanan ada tawaran bantuan dari Gereja GKI Klasis Jakarta II, sangat menolong ketika kami pontang panting mencukupi kebutuhan pembiayaan. Setelah bantuan berakhir, kita mulai memikirkan bagaimana kegiatan yang sudah menampakkan hasil positif ini bisa terus dilanjutkan.
Ide untuk penggalangan dana diawali ketika saya terganggu dengan sampah kertas di rumah, akhirnya saya tertolong karena ada tukang rongsokan ke rumah pastori menyelesaikan masalah saya karena sampah itu, masih lagi saya dapat uang karena sampah itu. Kemudian saya membayangkan kemungkinan banyak juga warga mempunyai sampah kertas dan ini bisa dikumpulkan yang kemudian dijual. Wah ternyata berdampak ganda ide ini, program dijalankan dengan judul : “Sampah Kertas Untuk Pendidikan”. yang mengumpuklan adalah seorang mahasiswa yang merantau dan ia mendapatkan keuntungan dari pengumpulan dan penjualan kertas itu. “Lumayan pak, bisa bantu-bantu untuk bertahan hidup di Jogja”, katanya waktu saya tanya berapa yang didapat dengan mengumpulkan kertas bekas. Sekarang warga gereja diajari untuk memilah semua sampah kertas dan plastik karena semua itu bisa jadi uang untuk menolong sesama. Anda punya sampah kertas dan atau plastik, sms ke 081578057600 dan kami akan mengambil di rumah anda. Dana juga diperoleh dengan menjual hasil karya lukisan anak-anak.
Kira-kira inilah penggalan cerita bahagia dari seorang anak bertubuh ceking dengan perut buncit yang waktu kecil menjual ‘lung kacang’.
Tuhan memberkati setiap pelayanan kita.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
[i] Lung Kacang ini istilah di desa Dorang – Jepara. Yang dimaksudkan adalah daun yang masih hijau dari kacang tanah yang dipanen. Daun kacang tanah ini biasanya dijual kepada tukang dokar untuk makan kuda.
Oleh : Pdt. Sundoyo. GKJ Brayat Kinasih.
Foto oleh : Ida Susanti
Foto oleh : Ida Susanti
0 komentar:
Posting Komentar